Perlukah EPISIOTOMI? Penelitian terbaru menguak bahwa tindakan
episiotomi tak harus selalu dilakukan pada persalinan normal. Tujuan
episiotomi sebenarnya untuk memperlebar jalan lahir sehingga memudahkan
dan melancarkan proses persalinan melalui vagina. Istilah lainnya adalah
perineotomi. Pada praktiknya, episiotomi dilakukan menurut perencanaan
(primer) atau tidak direncanakan (sekunder), yakni saat perineum (daerah
antara vagina dan anus) sudah menipis dan akan robek. Nyatanya, hampir
80 persen persalinan normal melibatkan tindakan episiotomi. Ada
anggapan, tindakan menggunting daerah perineum akan memudahkan bayi
keluar dan robekan di vagina pun akan lebih rapi. Terutama jika yang
dilahirkan adalah anak pertama. Alasannya, dinding dasar panggul ibu
masih kaku,sehingga sering kali menyebabkan persalinan kala II (saat
lahirnya bayi) menjadi lama, yang dapat meningkatkan risiko kesulitan
bernapas pada bayi baru lahir. Kesulitan bernafas pada bayi baru lahir
(lazimnya di sebut asfiksia neonatorum) dalam keadaan ekstrim berat
dapat menimbulkan kerusakansel- sel saraf di otak. Apabila ini terjadi,
tentunya akan memengaruhi kecerdasannya kelak. Memang benar perineum
ibu pada persalinan anak pertama lebih kaku dibanding persalinan
berikutnya. Namun kekakuan ini sebenarnya tidaklah bertahan lama.
Jaringan dan otot-otot perineum akan menjadi elastis serta melunak
dengan sendirinya karena tekanan kepala bayi pada saat keluar secara
bertahap. Pada persalinan berikutnya, perineum umumnya sudah lebih
lentur sehingga proses persalinan pun dapat berlangsung lebih mudah.
Jadi, anggapan bahwa jika tidak dilakukan episiotomi, robeknya vagina
pasti ‘berantakan’ ternyata tidak terbukti. Banyak persalinan normal
hanya menimbulkan sedikit luka saja. APA SAJA INDIKASINYA? Praktik
kedokteran masa kini untungnya kembali menekankan perlunya bukti ilmiah
hasil penelitian yang disebut evidence based medicine. Untuk itu,
beberapa penelitian digabungkan dan dianalisis (disebut meta-analisis) .
Soal perlu tidaknya episiotomi ini diteliti oleh Cochrane Collaboration
yang membandingkan episiotomi rutin dan episiotomi yang dilakukan atas
indikasi pada pertolongan persalinan melalui vagina. Hasilnya, robekan
ternyata lebih banyak terjadi pada persalinan dengan episiotomi. Nyeri
pascapersalinan juga lebih banyak dijumpai pada ibu-ibu yang menjalani
episiotomi. Berdasarkan bukti ini, mulai sekarang episiotomi dilakukan
harus dengan indikasi, antara lain: – Bayi berukuran besar
Jika berat janin diperkirakan mencapai 4 kg, maka hal ini dapat menjadi
indikasi untuk dilakukannya persalinan sesar (seksio sesarea). Alasan
yang menjadi buktinya yaitu, risiko komplikasi akan menjadi lebih besar
dan berbahaya jika bayi dilahirkan melalui vagina. Namun, mungkin saja
risiko ini terlampaui jika ternyata rongga panggul ibu cukup lebar.
Begitu juga jika berat bayi baru mencapai 3,5 kg atau lebih dan rongga
panggul ibu cukup lebar untuk dilalui, maka diperkirakan ia dapat lahir
melalui vagina. Jika ditemukan risiko persalinan macet karena bahu bayi
yang lebar, misalnya, barulah dilakukan episiotomi. – Perineum
sangat kaku Tidak semua persalinan anak pertama dibarengi perineum
yang kaku. Tetapi bila perineum sangat kaku sehingga persalinan
perlangsung lama dan proses persalinan menjadi sulit, perlu dilakukan
episiotomi. – Perineum pendek Jarak perineum yang sempit
boleh menjadi pertimbangan dilakukannya episiotomi. Apalagi jika kepala
bayi termasuk besar. Hal ini meningkatkan kemungkinanterjadin ya cedera
pada anus akibat robekan yang melebar ke bawah. – Persalinan
dengan alat bantu atau sungsang Episiotomi juga boleh dilakukan bila
persalinan dilakukan dengan menggunakan alat bantu, entah itu forseps
atau vakum. Tujuannya untuk mempermudah tindakan. Jalan lahir akan
semakin lebar sehingga meminimalkan risiko cedera akibat penggunaan alat
bantu tersebut.Begitu pula pada persalinan sungsang. Pada persalinan
normal tanpa episiotomi, perlukaan yang terjadi ternyata relatif kecil
dan dapat dijahit dengan mudah dan rapi. Proses penyembuhannya pun cukup
singkat, sekitar 2-3 hari saja. Pun ternyata tidak ada perbedaan dalam
proses penyembuhan luka episiotomi dengan robekan spontan perineum.
Bahkan episiotomi yang dilakukan secara mediolateral (sayatan miring)
sering menimbulkan nyeri yang lebih besar. RISIKO EPISIOTOMI
Berdasarkan indikasi tadi, langkah episiotomi boleh dilakukan. Namun,
sebelum sampai pada keputusan itu, ada beberapa kemungkinan komplikasi
yang merupakan penyulit tindakan episiotomi, antara lain: –
Perdarahan Episiotomi yang dilakukan terlalu dini, yaitu pada saat
kepala janin belum menekan perineum, akan mengakibatkan perdarahan yang
banyak pada ibu. Ini merupakan “perdarahan yang tidak perlu”. Episiotomi
seharusnya dilakukan ketika jaringan perineum sudah melebar dan setipis
mungkin. Saat ini kepala bayi sudah berada di panggul, sehingga
perdarahan dapat diminimalkan. – Infeksi Setiap luka tentunya
berisiko mengalami infeksi, apalagi jika status gizi dan kesehatan ibu
kurang baik. Gejalanya yang umum, yaitu vagina terasa sangat nyeri dan
mungkin disertai demam. – Hematoma Reparasi luka yang tidak
akurat dan sering kali menyisakan pembuluh darah yang tidak terjahit
dapat menyisakan gumpalan darah di bawah kulit atau disebut
hematoma.Hematoma yang tidak terdeteksi juga dapat menyebabkan syok
bahkan kematian akibat perdarahan yang tidak diketahui. –
Nyeri Saat Berhubungan Penyembuhan luka yang tidak baik dapat
menimbulkan rasa nyeri berkepanjangan, bahkan hingga masa nifas berakhir
dan ibu mulai berhubungan intim lagi. Oleh karenanya, episiotomi harus
benar-benar dilakukan berdasarkan bukti indikasi saja. Kencangkan
VAGINA Tak perlu berkecil hati jika memang episiotomi benar-benar harus
dilakukan. Dokter dan bidan yang terampil tentu dapat melakukannya
dengan hati-hati sehingga komplikasi tidak terjadi. Kabar gembiranya
lagi, episiotomi dapat merekonstruksi vaginayang “kendur” akibat
dilewati kepala janin agar kembali ke ukuran semula. Tindakan
vaginoplasti, untuk mengembalikan bentuk vagina dan perineum ke bentuk
yang ideal juga dapat dilakukan bersamaan.
Senin, 03 Juni 2013
melahirkan tanpa rasa nyeri

Rasa sakit saat melahirkan jadi momok tersendiri bagi ibu hamil. Banyak yang menyerah dan akhirnya memilih operasi caesar karena tak kuat dengan merasakan sakit. Kini, ada alternatif cara yang bisa membuat wanita melahirkan tanpa rasa sakit.
Metode melahirkan tersebut diberi nama Lumbar Epidural Analgesia (LEA). Hal ini diungkapkan oleh dr. Ardi Pramono Sp.An., M.Kes. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat ditemui di kantor Biro Humas dan Protokol (BHP) UMY. Ia mengatakan LEA merupakan metode yang berbeda dengan hypnobirthing, yang sudah cukup dikenal.
LEA
merupakan jenis anastesi lokal yang diberikan pada otot-otot melahirkan. Dengan
diberikan obat anastesi, otot tersebut pun tidak akan merasakan nyeri saat
melahirkan.
LEA akan dipasang di antara ruas tulang belakang pada saat ibu sudah merasakan rasa nyeri di awal proses kelahiran,” ujar dr. Ardi.
Pemberian
obat bius pada otot-otot ibu ini, menurut dr. Ardi tak akan memberikan buruk pada
sang bayi. Fungsi utamanya hanya membuat otot ibu tak terlalu tegang dan
mengurangi rasa sakit.
“LEA akan membuat proses persalinan menjadi efektif dan efisien karena ibu akan
menjadi lebih rileks dan otot-otot persalinan yang tadinya nyeri pun sudah
tidak lagi dirasakan. Selain itu tidak akan memberikan pengaruh buruk terhadap
bayi setelah dilahirkan," ungkap dokter yang juga Dekan FKIK UMY itu.
Dokter Ardi juga menegaskan bahwa melahirkan dengan menggunakan metode LEA,
harus berada dalam pengawasan dokter spesialis anastesi. Hal ini tentu untuk
menjaga kondisi kesehatan ibu tetap stabil.
“Walaupun tidak menimbulkan efek samping pada si bayi, namun kesehatan ibu juga
harus diperhatikan. Penggunaan LEA harus didampingi oleh dokter spesialis
kandungan dan juga spesialis anastesi dari awal proses persalinan sampai
selesai,”
Langganan:
Postingan (Atom)